Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim dengan wilayah laut sebesar 5,8 juta kilometer persegi, 17.840 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km serta potensi laut tiap tahun yang mencapai $US 1.2 triliun atau setara dengan 10 kali lipat Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2012 (http://bisniskeuangan.kompas.com, 2012).
Potensi tersebut sejatinya sudah lama dimanfaatkan oleh nenek moyang Indonesia yang dahulu dikenal sebagai pelaut ulung dengan menggantungkan hidup sebagai nelayan tradisional. Hingga saat ini mayoritas masyarakat yang tinggal didaerah pesisir merupakan penduduk yang berprofesi sebagai nelayan baik nelayan tradisional ataupun modern.
Jumlah nelayan di Indonesia sendiri diperkirakan mencapai 2,17 juta. Menurut survei BPS (Badan Pusat Statistik) hasil sensus 2003-2013, jumlah nelayan tradisional turun dari 1,6 juta menjadi 864 ribu rumah tangga. Kebalikannya, nelayan budidaya justru mengalami kenaikan dari semula 985 ribu menjadi 1,2 juta rumah tangga.
Padahal mayoritas nelayan di Indonesia tinggal dan tersebar di 3.216 desa yang terkategori sebagai desa nelayan tradisional (yaitu area yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan).
Perjalanan pembangunan ekonomi maritim Indoensia hingga saat ini dirasa masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan nelayan. Berbagai kendala dialami oleh para nelayan seperti hasil tangkap yang hanya tergantung dari musim, akses permodalan yang belum sepenuhnya dijangkau oleh nelayan, dan pengetahuan yang minim terkait pengolahan sumber daya lokal yang melimpah menjadikan mayoritas nelayan didesa pedesaan berpenduduk miskin.
Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) dan TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dari hasil PPLS Tahun 2011, jumlah desa pesisir miskin mencapai 10.640 desa. Selanjutnya dari penduduk miskin Indonesia sebanyak 31,02 juta orang, sebesar 25,14% atau 7,87 juta orang adalah penduduk miskin di kawasan pesisir.
Belum adanya keberpihakan lembaga perbankan ke sektor perikanan karena berbagai alasan mejadi sebab. Walaupun jasa kredit informal seperti seperti koperasi mina, namun jasa kredit informal tidak meningkatkan kesejahteraan nelayan karena tidak mampu menciptakan kapitalisasi.
Hal ini disebabkan oleh faktor bunga yang tinggi, tidak ada admistrasi yang baik dan tertib, serta tidak ada unsur pematangan ekonomi yang sifatnya mendidik masyarakat penerina kredit (nelayan) tersebut. Pelayanan kredit tersebut hanya mampu memberikan pelayanan yang besifat gali lobang tutup lobang sekedar untuk mempertahankan hidup tetapi tidak mampu meningkatkan standar hidup.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik dengan kerjasasama dengan perbankan ataupun lembaga keuangan mikro terkait distribusi kredit ke nelayan, namun belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal. Hingga Agustus 2019 penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tercatat sudah mencapai Rp 46,1 triliun dari target penyaluran yang ditetapkan Rp 120 triliun.
Melihat data tersebut hanya 2,1% penyaluran KUR disalurkan ke sektor perikanan (http://kur.ekon.go.id/, 2019). Hal inilah yang manjadi salah satu penyebab terkendalanya pembangunan sektor ekonomi didaerah pesisir mengingat minimnya akses permodalan untuk membantu nelayan dalam meningkatkan produktifitasnya sehingga mayoritas nelayan di pedesaan pesisir berpenduduk miskin.
Berangkat dari permasalahan di atas, diperlukan solusi agar proses penyaluran kredit mikro seperti KUR dapat lebih menyentuh nelayan. Solusi yang bisa diberikan yaitu mengintegrasikan berbagai sektor lembaga keuangan kedalam program yang bernama RIBank (Perikanan Bank) yaitu menggabungkan keunggulan dan meminimalkan kelemahan dari lembaga keuangan saat ini hingga bisa menjangkau nelayan.
Adapun pihak yang akan dilibatkan antara lain lembaga keuangan mikro (LKM), bank umum, dan perusahaan teknologi finansial (Fintech). Untuk mendukung program RIBank, diperlukan bantuan dari pemangku kepentingan lain seperti perusahaan telekomunikasi dan juga agen branchless banking seperti agen Layanan Keuangan Tanpa Kantor untuk keuangan inklusif (Laku Pandai) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Perusahaan telekomunikasi berfungsi sebagai penyedia database transaksi telepon seluler dari nelayan sebagai portofolio guna menganalisis kelayakan kredit nelayan. Sementara itu, agen branchless banking berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari lembaga keuangan sehingga akses produk keuangan menjadi lebih mudah bagi nelayan.